Cerpen "Her Annoying Protective Pal" oleh Arumi Cinta



Her Annoying Protective Pal

Kiryanti menahan lipatan kertas krep dengan satu tangan. Tangan lainnya menengadah ke bawah, ia lalu menoleh pada Tomi yang memegangi tangannya.

“Lemnya dong, Tom,” pinta Kiryanti.

Tomi berjongkok untuk merogoh isi kresek hitam di lantai. Kemudian, ia kembali berdiri sambil menoleh ke arah lain dan berseru, “Ada yang megang lem, gak?”

Beberapa orang di dalam aula tampak merespon. Mereka membiarkan salah satu yang berada paling dekat untuk memberikan bantuan.

Karena lingkup kampus yang lenggang, aktifitas merias aula dapat dilakukan dua minggu sebelum hari pelaksanaan pesta Valentine tahun ini. Anggota BEM bersama beberapa perwakilan anggota ekskul yang terkait tengah bergotong-royong mendekorasi aula seluas hampir setengah hektare.

Nelia dengan tingginya yang hanya 151 senti tidak dapat mencapai tepi kiri-atas jendela yang harus ditutupnya. Baru akan meletakkan spanduk, Landon mengambil ujung spanduk dari genggamannya. Pemuda yang hampir 30 senti lebih tinggi darinya tersebut dapat meraih ujung jendela yang dimaksud cukup dengan berjinjit.

“Wah? Makasih, Kak Landon.” Nelia tersenyum seraya menatap Landon dengan mata melebar senang.

“Iya ... sama-sama,” balas Landon dengan tangan meraih kucir rambut lurusnya yang tidak kenapa-kenapa. Hatinya mendadak menghangat berbunga kala bertemu pandang dengan mata bulat menggemaskan beserta senyum kekanakan yang didapatnya.

Setelahnya Landon berkata lagi, “Kamu gak nyampe, kan? Biar Kakak aja yang lanjut masangin.”

Gadis tersebut sedikit tertawa. “Iya, Nelia kependekan.”

Beberapa menit kemudian, Nelia tengah asik menata lembaran tisu berwarna menjadi beberapa kuntum bunga untuk menghias bagian luar salah satu pintu masuk. Baru saja menempelkan satu kuntum mawar tisu pada pintu, Kalvin menempelkan gulungan panjang tisu berwarna hijau serta menatanya agar tampak seperti sulur tanaman.

Setelah menempelkan sulur tisu, ia memandang sejenak hasil tangannya. Sesaat kemudian menatap Nelia dan bertanya dengan nada cerah, “Bagusnya banyakin daunnya dulu, gak, sih?”

“Oh! Betul juga,” tanggap Nelia terinspirasi. “Biar jadi keliatan kaya pintu dari semak-semak, ya?”

“Nah, iya, kan?” balas Kalvin bersemangat.

Tisu berwarna di dekat tempat Nelia duduk kelihatannya telah kehabisan warna hijau. Seusai menatap ke sana, Nelia kembali memandang Kalvin seraya mulai beranjak. “Bentar, ya! Tisunya kurang. Nelia ambil dulu.”

“Eh, iya,” balas Kalvin. Ia menatap gadis tersebut berlalu dengan sedikit sendu. Padahal ia mendekati Nelia karena ingin berdekatan mengerjakan dekor berdua.

Bahan-bahan dekor dikumpulkan di tengah aula, termasuk juga minuman dingin yang tersimpan dalam peti es ukuran sedang. Ada Ringga yang tengah duduk beristirahat sambil membenarkan karet yang mengikat rambut keriting gimbalnya. Ia menoleh saat melihat Nelia mendekat.

Nelia dengan hati-hati mencari di antara tumpukan kresek dan kardus. Dia tidak ingat dimana terakhir menemukan tisu-tisu berwarna. "Tisunya sebelah mana, ya?" 

"Oh, cari tisu? Dimana, ya? Bentar ....," Ringga menyudahi kucirannya dan turut mengecek kumpulan bahan dekor. "Tadi sekitar sini, sih."

"Tadi Nelia ngambilnya dari kresek yang ini, tapi udah abis di sini."

Ringga sebetulnya agak tidak fokus. Memperhatikan kedua telapak tangan Nelia, perasaannya antara was-was atau berharap tak sengaja menggenggamnya.

"Kayanya udah ada yang pake, ya?" teka Nelia. "Kalo gitu, coba Nelia tanya yang di Ruang BEM, ya."

"Oiya iya ... coba tanya aja," sahut Ringga agak latah. Beberapa mahasiswa yang melihatnya agak terkikik, hanya Nelia yang sama sekali tidak cukup sensitif untuk menyadari baik kekeh mereka ataupun alasan mereka tergelak.

Nelia hendak keluar lewat pintu belakang yang lebih cepat untuk menuju gedung tempat ruang BEM berada. Kebetulan ia bertemu Ketua BEM, Ferdian, ia langsung menghampirinya.

"Kak Ferdian!"

Tangan Nelia menarik lengan pendek kemeja flanel berwarna coklat-merah yang dikenakan Ferdian. Ia berusaha mencegah senior yang tadinya berencana melewati Nelia dengan tetap tenang, tapi sekarang dalam hati Ferdian ketenangan itu telah ambyar.

"Iya, kenapa?" tanya Ferdian sambil memandang balik Nelia dengan sikap kalem sempurna.

"Tisu warna-warninya abis, warna ijonya kurang banyak," jawab Nelia. "Di Ruang BEM masih ada, gak?"

"Oohh, masih, kok, mau Kakak temenin ke ruang BEM?"

Kiryanti mengapit tangan Nelia. "Eh, gak perlu, Kak," balasnya dengan nada ramah. "Kayanya Kiryanti masih butuh Nelia buat bantu warnain kupu-kupu."

Ferdian mengangkat sebelah alis. "Kamu suruh saya ngambilin barang sendiri ke sini?"

"Tentu enggak, Kak. TOM! TOMI! AMBILIN TISU HIAS, GIH, BARENG KAK FERDIAN!"

Tomi dan Hanita yang sedang mengambil barang di tengah aula tertawa canggung menanggapi bahwa mereka dapat mendengar jelas pekikan Kiryanti. Tomi hampir merasa malu sendiri mendengar gemanya. Begitu Tomi menemani Ferdian ke luar aula, Kiryanti mengajak Nelia duduk nyaman di dekat bahan-bahan dekor, membantu Hanita menggunting origami dan karton.

Tomi kembali seorang diri membawa seabrek bahan dekor. Hanita dan Kiryanti memandangnya sambil agak tersenyum kasihan, mereka tahu Ferdian tidak kembali ke aula bersamanya.

"Tega bener, lu, Kir," keluh Tomi setelah meletakkan barang-barang di lantai.

"Maap maap, nih, Tom," jawab Kiryanti, agak menahan tawa. "Nanti pas pulang gue beliin float mangga kesenengan lu, deh."

"Beneran, lu, ya?" kecam Tomi sembari duduk. "Lagian kenapa banget, sih, lu perlu ngalangin Kak Ferdian jalan sama Nelia? Biarin aja, kali."

"Gak," jawab Kiryanti. Sekilas ia melirik Nelia yang tengah memasang hasil paper craft di tepi ruangan. "Lu tau sendiri, kan? Gue paling curiga sama Kak Ferdian."

Hanita mendelik sambil sedikit menahan tawa, "Curiga apa? Kaya orang maling aja."

Tomi sedikit tertawa mendengarnya. Kiryanti hanya memutar bola matanya.

Tomi pun berkomentar, "Sadar, gak, sih? Yang ngurus acara Valentine banyak cowok-cowok yang naksir Nelia, Kir. Lu juga tau, kan, Han?"

"Iya, Kir," tambah Hanita. "Lu bayangin, Landon yang biasanya cuek bebek jadi wakil organisasi, di rapat acara valentine getol jadi perwakilan terus. Kalvin yang dateng seadanya di organisasi jadi sering nongol asal ada Nelianya. Ringga yang lebih demen ngurus media di rumah sekarang lebih seneng ngurus musik di kampus. Nah, Kak Ferdian, nih ... kalo gak ada Nelia aja sadis banget ngasih masukan, giliran ada bocahnya jinak bener, tuh, lidah."

Kiryanti menampar pelan pipi Hanita dengan gulungan karton yang telah digunting-gunting. Hanita sendiri menolehkan kepalanya dengan cepat ke samping seolah tamparan Kiryanti sekeras hantaman Mjölnir.

"Iya, tau. Kan, gue yang ngasih tau lu pada hasil observasi gue," delik Kiryanti. "Gue yang bilang duluan kalo bocah-bocah yang demenin Nelia udah makin bertingkah semenjak Nelia ikut bantu sponsorin perihal buket-buket dari toko bunga bibinya, akhirnya sekalian ikutan jadi perwakilan Jurusan Bimbingan Konseling."

"Kan, biar anggota-anggota organisasi berbakatnya jadi pada sering nongol, Kir," timpal Tomi. 

Kebetulan Tomi yang meminta Kiryanti sering datang bersama Nelia. Mulanya hanya agar Kalvin, anggota satu organisasinya yang cukup produktif sering datang, tapi ternyata Landon dan Ringga juga ikutan. Tambah lagi masukan Kak Ferdian jadi lebih enak di kuping. Banyak manfaat. 

Kiryanti sendiri dalam acara ini memiliki andil untuk persediaan paper craft yang di sponsori perusahaan ternama tempat ayahnya menjabat sebagai Kepala Bagian Marketing selama enam tahun terakhir ini.

Seorang Nelia terkenal manis dan child-like. Banyak yang kepincut dengannya sejak awal mengenal. Namun, tidak ada yang bisa mengenal Nelia tanpa mengenal Kiryanti. Bukan hanya karena Kiryanti selalu menemani Nelia, tapi juga tidak pernah ada yang bisa melakukan pendekatan pada Nelia sebab Kiryanti sangat jeli dengan cowok-cowok yang berusaha mendekati sahabat tersayangnya.

Hanita kembali bersuara, "Kita tau, maksud lu itu jagain Nelia, tapi lu gak perlu seketat itu, kali, sama cowok-cowok yang naksir dia. Sampai ngalangin mereka deket sama Nelia." 

"Han, lu harusnya ngerti, lah," ujar Kiryanti. "Lu liat Nelia, dia bahkan gak bisa ngerti kalo mereka naksir dia. Gue masih belum bisa biarin Nelia. Enggak. Pokoknya enggak."

"Tapi, Kir," tukas Tomi. "Pahamlah! Mereka, tuh, bener-bener pengen ngedeketin Nelia. Coba, udah berapa bulan mereka naksir? Lu, kan, udah merhatiin."

"Iya," timpal Hanita. "Udah selama ini perasaan mereka gak terbaleskan. Kir, ayolah! Kasih mereka kesempatan buat usaha."

Kiryanti mendengus pelan seraya memikirkan ucapan kedua sahabatnya. Sejenak, ia mengalihkan pandangan pada Nelia. Wanita mungil tersebut tengah memiringkan kepalanya ke kanan dan kiri, memastikan hasil dekor yang telah disusunnya tidak miring.

Kiryanti sedikit tersenyum melihat tembok berlapis kain tebal, media lukisan pemandangan Kota Medieval bak kisah dongeng bertema warna pastel. Ada tambahan bunga-bunga tisu, kupu-kupu kertas, dan detail-detail lain yang dibuat dengan kertas hias. Nelia berbalut hoodie flanel peach dan rok flare oranye selutut seolah menjadi sentuhan terakhir dalam lukisan tersebut. Bak ilustrasi dari dongeng indah yang berakhir dengan bahagia selamanya.

Pandangan Kiryanti kembali pada dua teman kampus beda fakultas di hadapannya. Tomi dan Hanita yang mengira Kiryanti kontra dengan usul mereka kembali memandangnya balik.

Landon tengah meneguk sekaleng soda rasa jeruk saat Kalvin duduk di sebelahnya. Pemuda yang biasa terlihat bersemangat itu tampak acuh menjatuhkan kardus tisu hias yang sudah kosong di atas kresek tempat sampah kertas dikumpulkan. Ia lalu menghela nafas.

"Kak," ucap Kalvin. "Perasaan tadi Kakak berhasil deketin Nelia. Kenapa malah Kakak suruh kerjain yang lain, dah? Bisa kerja bareng padahal."

Landon melirik ke arah lain. "Lupa."

"Yeu ...," olok Kalvin.

Sebetulnya, Kalvin dan Landon saudara sepupu yang kebetulan juga satu jurusan. Mereka tahu kalau masing-masing menyukai gadis yang sama. Sejauh ini keduanya masih bersaing sehat karena sama-sama tidak bisa pendekatan.

"Nelia! Sini, deh!"

Sang gadis menoleh dan langsung berlari kecil mendengar Kiryanti memanggil namanya. Kiryanti beserta Tomi dan Hanita bisa merasakan 4 orang lainnya ikut menoleh sebab mereka tahu dalam radius beberapa meter terdekat ada Kalvin dan Landon yang beristirahat, Ringga yang sibuk mencari spidol, serta Ferdian yang memastikan tatanan meja sesuai dengan rencana dekor.

"Kiryanti! Hiasan Nelia bagus, gak?" tanya Nelia saat ia duduk di samping sahabatnya.

"Bagus banget, Nel, sesuai sama arahan pas rapat, ya," tanggap Kiryanti, dengan jeli mengenali setiap detil hasil usaha Nelia. "Kamu masih inget, ya."

"Kiryanti juga sama."

Tomi dan Hanita hanya tersenyum seadanya menanggapi bakat photographic memory kedua sahabat mereka. Sebetulnya itu hanya hiperbolis.

"Gini, Nel ...," Kiryanti memulai. "Jadi, pas pesta nanti kita rencana mau adain sesi dansa berpasangan gitu, kan? Nah, aku denger ... katanya, sih ... ada yang mau usul dari panitia ada perwakilan jadi putri sama pangeran di sesi dansa."

"Waaa! Lucu!" tanggap Nelia.

"Iya, kan?" timpal Kiryanti. "Nelia mau, gak, jadi putrinya?"

Tomi dan Hanita diam-diam melirik keempat penaksir. Keempatnya membatu di tempat. Mereka tampak sedang menguping.

Nelia sendiri terlihat bingung. "Gak mau perwakilan dari ekskul seni aja?"

"Ba-bagusnya, ya, dari anggota panitia lain juga ada, dong," kilah Kiryanti. "Masa, anggota seni, doang? Ini, kan, acara hari kasih sayang, bukan acara pagelaran seni. Iya, kan?"

"Tapi Nelia gak bisa nari."

"Nanti diajarin, kok. Kamu soalnya yang mukanya paling pas buat jadi putri."

"Nelia pendek, gapapa?"

"Di kampus ini yang pendek, kan, bukan kamu aja."

"Nanti pasangannya siapa?"

Keempat penaksir belum beranjak sama sekali dari posisi mereka. Landon sok sibuk, meneguk kaleng soda yang sudah kosong; Kalvin sesekali melirik, agak berharap ia tak ketahuan mencuri pandang; Ringga bermain kresek, pura-pura mencari spidol; Ferdian masih di tempatnya berdiri, padahal meja sudah rapi sejak tadi.

Kiryanti menghela nafas sambil bicara, "Nelia pilih sendiri, dong."

Agak berat membuat keputusan ini, tapi Kiryanti telah memutuskan mendengarkan Tomi dan Hanita yang duduk di belakang Nelia, mengapresiasi keputusannya dengan acungan jempol.

"Tapi Nelia gak tau mau sama siapa," kata Nelia.

"Siapa aja, yang Nelia suka," balas Kiryanti. "Kan, masih ada dua minggu lagi, Nelia masih ada banyak waktu buat milih, kan?"

"Gak mau Kiryanti aja yang dansa?" tanya Nelia.

"Enggak, Nelia. Kamu yang lebih pas jadi putri," jawab Kiryanti lembut.

Nelia tertawa sedikit menanggapi pujian Kiryanti.

"Jadi ...," ucap Hanita. "Kalau misal usul ini diterima, nih ... Nelia mau, gak, jadi putri?"

Nelia mengangguk. "Mau!"

Hanita dan Tomi refleks saling memberi tos. Tomi memberi gestur OK pada Kiryanti, mengisyaratkan bahwa dia akan mencoba menghasut ketua organisasinya untuk memberikan usul ini pada rapat sore nanti. Sementara, Kiryanti meladeni obrolan Nelia. Hati kekanak-kakakannya sebetulnya belum bisa merelakan sahabat tersayang tumbuh cepat dan menyaksikan hatinya dicuri pergi. Namun, mungkin telah saatnya.

Keempat penaksir akhirnya telah pergi saat itu. Masing-masing dari mereka tampak cukup senang dengan apa yang telah mereka dengar.


[TBC]